Fakta Menarik Ternyata Fitoplankton Adalah Penghasil Oksigen Terbesar di Bumi
.Artikel
Pada era modern ini, pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat dirasakan sangat cepat. Salah satu ciri dari masa ini adalah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, di era globalisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Giddens, globalisasi merupakan sebuah proses yang kompleks, tidak hanya digerakkan oleh suatu kekuatan tertentu, melainkan oleh banyak kekuatan, seperti budaya, teknologi, politik maupun ekonomi. Globalisasi politik antara lain berupa gerakan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif dan kontroversial.
Perlindungan hak asasi manusia juga tidak hanya menjadi tradisi kolektif dalam masyarakat Barat yang notabene telah melahirkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai konsensus internasional.
Hal ini juga telah menjadi bagian dari tradisi modern masyarakat dan negara-negara muslim melalui konsensus Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) tahun 1967 di Cairo Mesir. Hal ini merupakan realitas sosial dan politik di kalangan negara-negara muslim dalam mengangkat isu-isu hak asasi manusia sebagai bagian dari tradisi kepercayaan (agama) dan tradisi budayanya.
Dengan adanya era globalisasi, yang ditandai dengan makin biasnya batas-batas budaya dan nasionalitas, hampir disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang mulai tertarik untuk memahami tentang arti pentingnya keterlibatan HAM dalam berbagai aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bermasyarakat termasuk di negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam Rencana Pembangunan Hukum Nasional yang mengagendakan adanya bidang HAM.
Konsep Hak Asasi Manusia
Secara filsafati dapat dipahami bahwa HAM adalah hak yang melekat atau inherent pada diri manusia, yang berasal dari Tuhan sejak manusia itu lahir. Sebagai makhluk Tuhan, manusia memiliki derajat luhur yang dilengkapi dengan budi dan nurani.
Secara objektif dapat dikemukakan bahwa HAM adalah kewenangan pokok yang melekat pada manusia, sehingga harus diakui dan dihormati oleh negara. Hak dan kewajiban fundamental manusia itu berakar pada idea Sang Pencipta. Manusia memperoleh hak-haknya itu langsung dari Tuhan menurut kodratnya (scundum suam naturan).
Secara konseptual dapat dikatakan bahwa HAM memiliki dua dimensi, yaitu dimensi moral dan dimensi hukum. Dimensi moral dari HAM diartikan bahwa HAM, adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut (nonderogable right ), karena hak tersebut merupakan hak manusia yang melekat (inherent) pada dirinya karena ia adalah manusia.
Sedangkan dimensi yang kedua, sebagai hak hukum, maka HAM adalah hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat internasional maupun nasional. Termasuk dalam kategori ini adalah berbagai instrumen internasional tentang HAM, baik perjanjian internasional, deklarasi maupun resolusi, serta berbagai instrumen hukum nasional yang mengatur tentang HAM.
Dengan pengertian dan konsep HAM di atas, maka dapat dipahami bahwa persoalan HAM tidak semata-mata merupakan persoalan hukum, tetapi juga moral. Dalam hubungannya dengan kewajiban internasional dari setiap negara, maka dapat dikatakan bila penegakan HAM tidak semata-mata didasarkan pada moralitas tetapi juga berdasarkan kewajiban untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Era globalisasi yang ditandai dengan makin biasnya batas-batas budaya dan nasionalitas, hampir disetiap negara baik negara maju maupun negara berkembang mulai tertarik untuk memahami tentang arti pentingnya keterlibatan HAM dalam berbagai aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bermasyarakat termasuk di negara Indonesia hal ini terlihat dalam Rencana pembangunan hukum nasional yang mengagendakan adanya bidang HAM.
Penegakan HAM juga menjadi arah bagi pembangunan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (tahun 2005-2025). Di antara arah disebutkan adalah “Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan ke majemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan, kebenaran, ke tertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar”.
Prinsip-prinsip HAM dalam Islam
Pembagian hak menjadi dasar bagi ketentuan normatif yang ada dalam agama Islam sendiri, sehingga hal-hal yang menyangkut hak Adam urusannya harus dengan manusia sendiri baru kemudian dengan Allah. Persoalan yang terjadi ketika hak itu didefinisikan sebagai berlandasan pada hak Allah kemudian didistorsi, ketika perilaku penguasa atau dalam hal ini pemerintah yang mengatur hukum menempatkan diri sebagai bayang-bayang penguasa di bumi.
Salah satunya adalah mengenai hukum riddah. Pada mulanya riddah merupakan hak bagi setiap orang seperti dikatakan dalam Alquran “Barang siapa yang mau beriman, maka berimanlah dan barang siapa mau kufur maka kufurlah”. Semuanya adalah merupakan pilihan individu, seperti ibadah salat, namun lama kelamaan hak tersebut diambil alih oleh pemerintah sebagai penguasa negara.
Artinya urusan riddah ini merupakan urusan pribadi yang bersangkutan dengan Allah, namun kemudian hak Allah diambil oleh kekuasan sehingga penguasa memfungsikan diri sebagai Allah dan memaksakan orang, serta memberikan sanksi.
Para ulama dan intelektual Muslim juga mendukung konsep HAM dengan teori yang merupakan manifestasi dari pemeliharaan aspek keniscayaan (dharuriyyat) tersebut yang dalam fikih disebutkan 5 prinsip dasar hak asasi manusia yang disebut al-huqūq alkhamsah yakni; hak hidup, hak kebebasan, beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak produksi dan hak reproduksi.
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Pandangan Islam bahwa Tuhan sangat dipentingkan. A.K Brohi menyatakan pendekatan Islam berbeda dengan pendekatan Barat.
Di mana strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan jiwa penganutnya.
Hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam. Universalitas hak azasi manusia telah digaransi di dalam prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci maupun konstruksi pemikiran ulama. Prinsipprinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi dan sebagainya.
Namun demikian, prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum tersebut sangat terbuka dengan perbedaan pada tingkat implementasinya. Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik hukum dan situasi sosial-budaya dalam masyarakat Islam. Pada gilirannya muncullah corak keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal.
Menurut an-Na’im konflik antara hukum islam dan HAM berdasarkan kepada prinsip resiprositas dalam HAM , yakni adanya prinsip saling menghargai hak dan kebebasan individu sejajar dengan hak dan kebebasan individu lainnya.
Ia menolak pemberlakuan syariah historis yang dibentuk melalui rekayasa sejarah dan harus dikembalikan kepada sumber asalnya, yakni prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang universal. Ia beralasan bahwa beberapa bagian penting dalam hukum Islam saat ini bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum internasional.
Contoh seperti terdapat dalam bidang hukum perdata dan pidana Islam. Ia membuktikan dengan beberapa kasus seperti seorang laki-laki non-muslim tidak dibenarkan menikahi perempuan muslim, sebaliknya laki-laki muslim bisa menikahi perempuan non-muslim.
Hal ini juga termasuk dalam perkara perbedaan hak waris antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif. Kemudian dalam bidang pidana Islam, pemberlakuan hukum qishāsh, hudūd, dan ta’zīr bagi pelanggaran tindak pidana berat, dianggap tidak relevan lagi diterapkan dalam konteks kemodernan, karena hal itu akan membatasi hak hukum minoritas non-muslim di bawah naungan konstitusi negara berlandaskan syari’at Islam
Oleh karena itu, hukum Islam saat ini hanya bisa berlaku dan ditaati dalam wilayah komunitas umat Islam, sebab beberapa materi hukum Islam cenderung diskriminatif terutama dalam masalah gender dan agama serta hak sipil lainnya. Secara ekstrim ia menyuarakan bagi perlunya pembaharuan hukum Islam agar relevan dengan standard-standard hak asasi manusia dalam UDHR 1948.
Dengan demikian, bahwa pola hubungan antara hukum Islam dan hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang keluar dari keyakinan agama. Menolak hukum Islam sebagian tidak berarti meninggalkan hukum tersebut secara keseluruhan.
Sudah barang tentu, sebagai hukum Tuhan, hukum Islam yang terkandung dalam makna integral syariah berisikan prinsip-prinsip moral, etika, hukum, dan keadilan dapat diterapkan secara utuh dan berkesinambungan. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak, eksistensi hukum Islam yang lahir dari produk sejarah ternyata telah melahirkan pertentangan dengan sistem hukum lainnnya serta penolakan dari kalangan non-muslim dan komunitas muslim itu sendiri.
Penutup
Hukum Islam dan hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang keluar dari keyakinan agama. Menolak hukum Islam sebagian tidak berarti meninggalkan hukum tersebut secara keseluruhan. Sudah barang tentu, sebagai hukum Tuhan, hukum Islam yang terkandung dalam makna integral syariah berisikan prinsip-prinsip moral, etika, hukum, dan keadilan dapat diterapkan secara utuh dan berkesinambungan. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak, eksistensi hukum Islam yang lahir dari produk sejarah ternyata telah melahirkan pertentangan dengan sistem hukum lainnnya serta penolakan dari kalangan non-muslim dan komunitas muslim itu sendiri.
Sumber Pustaka
Giddens, Anthon. 1999. “Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial’, Jakarta: Gramedia.
Mas’udi, Masdar F, 2010. “Hak Azasi Manusia dalam Islam, dalam Disemenasi Hak Asasi Manusia, Perspektif dan Aksi”. Jakarta: CESDA LP3ES.
Setiardja, Gunawan. 1993. “Menjajagi Pengertian HAM Secara Filsafati”, Makalah pada Seminar Nasional HAM, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP.
Setiardja, Gunawan. 1993. “Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila”, Yogyakarta: Kanisius.
Ecce Febriyana
Seorang mahasiswi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah semester 5 aktif di Organisasi Mahasiswa) Ormawa sejak semester 3
Setiap negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam mempunyai pengalaman yang berbeda dalam penerapan hukum Islam, termasuk Indonesia yang belakangan ini telah mencanangkan reformasi dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek hukum. Dalam konteks ini sangat menarik untuk dikaji mengenai bagaimana eksistensi hukum Islam di Indonesia, serta penerapan hukum Islam di indonesia.
Sebagai suatu sistem hukum, bagaimanakah kedudukan Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, mengingat Negara Republik Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada agama Islam?
Permasalahan dan pertanyaan seperti ini seringkali mengemuka serta menjadi isu, bahkan dapat berkembang menjadi kontroversial manakala bersentuhan dengan isu-isu sensitif seperti dalam pembentukan dan penerapan Peraturan Daerah (Perda), yang oleh banyak pihak dipandang sebagai Perda Syariat Islam, misalnya Perda Anti Pelacuran, Perda Anti Minuman Keras (Miras).
Sejumlah isu sekaligus permasalahan tersebut di atas terkait erat dengan bagaimana kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia berkenaan dengan kontribusinya.
Menurut saya tesis yang saya gunakan ini sangat penting karena hukum Islam dengan hukum nasional saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lainnya. Sistem hukum Nasional yang dapat diterima secara luas, sedangkan sistem hukum yang lainnya (hukum Islam) dapat berkurang pengaruhnya sehingga eksistensinya semakin dipertanyakan.
Pada pembahasan selanjutnya, saya akan menyampaikan argumentasi saya mengenai bagaimana kedudukan dan kaitan antara hukum Islam dan hukum nasional. Selain itu, bagaimana pendapat saya mengenai hukum Islam yang belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, terutama hukum pidana Islam serta argumen saya mengenai cara meminimalisir kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan hukum Islam di Indonesia,
Kedudukan Hukum Islam dalam Ketatanegaraan Indonesia
Kedudukan hukum Islam dalam sistem ketatanegaraan merupakan sub sistem dari hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan kontribusi dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional.
Selain itu, kedudukan hukum Islam di Indonesia ini melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, serta penduduk yang sedikit berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya ini sangat erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh dibiarkan saling bertentangan.
Berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia, yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini, dilandasi oleh nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam menjadi hukum positif bagi umat Islam Indonesia.
Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya. Pembentukan dan penetapan hukum Islam pada politik hukum nasional dipengaruhi oleh kedudukan hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia, yakni;
Eksistensi Hukum Islam di Indonesia
Eksistensi Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum nasional, berarti Hukum Islam tetap mempertahankan kelangsungan, keberadaan, dan fungsinya dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Eksistensi Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum nasional, tetap berkembang dan diterima sebagai sistem hukum nasional yang turut berperan dalam pembentukan hukum Nasional.
Untuk mengetahui eksistensi hukum Islam di Indonesia dalam pembentukan adalah dengan teori eksistensi yang dikemukakan oleh Ichtijanto, penafsiran teori ini mengungkapkan eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional sebagai berikut:
Puncak kemajuan eksistensial bagi Hukum Islam dalam kerangka ius constitutum, adalah ketika ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam dan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai pedoman terutama bagi para hakim agama dalam memutus perkara dilingkungan peradilan agama, meskipun wilayah hukumnya masih sebatas hukum perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat, hibah, dan sedekah.
Penerapan Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam masih banyak disalahartikan sebagai suatu hukum yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, hukum Islam hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam sepanjang menurut hukum.
Meskipun hukum Islam merupakan bagian dari agama yang harus dijalankan oleh umat Islam, namun dalam penerapannya kelihatannya belum sepenuhnya berlaku terutama dalam hal yang berhubungan dengan satu bagian dalam sistem Hukum Islam ialah jinayat (Hukum Pidana Islam), dalam kenyataannya tidak diberlakukan di Indonesia.
Jika seorang beragama Islam mencuri, maka yang diterapkan ialah ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bukan hukum rajam (potong tangan). Untuk hukum jinayah ini, dalam pelaksanaannya di negara Indonesia masih belum bisa menerapkan hukum Islam sebagai hukum positifnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh umat Islam sendiri yang belum siap untuk menerapkannya meskipun itu perintah Allah.
Menurut saya, untuk mendapatkan sanksi yang seadil-adilnya, hukum positif ini masih kurang, sebaiknya negara Indonesia menegakkan hukum Islam sebagai pedoman dalam menjatuhkan sanksi hukuman.
Dan dengan ditegakkannya hukum Islam, saya yakin akan membuat jera seseorang yang hendak melakukan jarimah pencurian tersebut. Dan hendaknya masyarakat mulai saat ini sadar dan mengerti arti pentingnya akan hukum demi menjaga ketertiban dan keseimbangan masyarakat sehingga terciptanya suatu masyarakat yang aman dari suatu tindakan atau pelanggaran- pelanggaran hukum.
Bukti adanya hukum Islam sebagai hukum nasional adalah dengan ditetapkannya beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang tertulis maupun yang tidak tertulis tetapi diterapkan di masyarakat, bahkan dipraktekkan dalam ketatanegaraan dan sosial keagamaan bangsa Indonesia.
Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya. Masyarakat Indonesia bisa melakukan berbagai langkah pembaruan seperti pembentukan sistem hukum baru yang berlandaskan dan bersumber dari sistem hukum Islam.
Sistem hukum Islam ini yang nantinya bisa dijadikan sebagai aturan hukum positif yang berlaku di dalam hukum Negara Indonesia. Hukum Islam tidak hanya memperlihatkan ekosistemnya, melainkan juga berperan besar dan penting dalam sistem hukum di Indonesia.
Contoh konkret di lapangan tampak pengacara (advokat) yang bukan pemeluk agama Islam tampil membela kliennya dalam soal dan perkara kewarisan Islam, perceraian, Ekonomi Syariah khususnya Perbankan Syariah dengan meyakinkan.
Namun, penerapan hukum Islam di Indonesia melalui jalan perundang-undangan (legisiasi) tidaklah mudah. Karena, usaha ini harus melibatkan pembahasan politik melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak semua anggotanya pendukung sistem hukum Islam.
Disamping itu, terdapat kendala lain yang mempersulit usaha Legisiasi hukum Islam di Indonesia, yakni kendala yang bersifat kultural. Kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan hukum Islam di Indonesia, tentunya harus diminimaiisir, termasuk kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam membutuhkan langkah-langkah sebagai alat penekan dan pemaksa, yakni dengan meningkatkan kesadaran umat Islam, tentang tuntutan ajaran agamanya secara menyeluruh, kemudian berupaya meyakinkan umat beragama lain tentang kemampuan hukum Islam (dalam formulasinya yang baru) sebagai hukum negara.
Kesimpulan
Kedudukan hukum Islam dalam sistem ketatanegaraan merupakan sub sistem dari hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan kontribusi dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional.
Sehingga hukum Islam dan hukum Nasional mempunyai hubungan yang erat. Negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam menjadi hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.
Eksistensi Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum nasional, tetap berkembang dan diterima sebagai sistem hukum nasional yang turut berperan dalam pembentukan hukum Nasional. Bukti adanya hukum Islam sebagai hukum nasional adalah dengan ditetapkannya beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang tertulis maupun yang tidak tertulis tetapi diterapkan di masyarakat, bahkan dipraktekkan dalam ketatanegaraan dan sosial keagamaan bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia bisa melakukan berbagai langkah pembaruan seperti pembentukan sistem hukum baru yang berlandaskan dan bersumber dari sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam ini yang nantinya bisa dijadikan sebagai aturan hukum positif yang berlaku di dalam hukum Negara Indonesia.
Sumber Pustaka
Abdul Wahid dan Mustofa. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Cet. 1; Jakarta: Sinar Graft
H. Muchsin. 2003. “Perundang-undangan yang Memperkokoh Hukum Islam di Indonesia” Suara
Uldilag, Edisi II, 2003, Jakarta: Pokja Perdata Peradilan Agama MA-RI
Ichtijanto. 1990. Hukum Islam dan Hukum Nasional Jakarta: Ind-Hill Co
Mardani. 2008. Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No.2 April-Juni 2008
Aysiasyifaa Nikmaratu
Seorang mahasiswi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah semester 5 aktif di Organisasi Mahasiswa) Ormawa sejak semester 3
Salah satu disiplin ilmu yang lahir dari ulama-ulama terdahulu seperti fiqih, tafsir, taswuf hingga ilmu kalam memiliki pengaruh cukup besar dalam peradaban Islam. Terlebih ilmu kalam, yang memberikan dampak signifikan dalam masa perekmabangan wacana-wacana ke Islaman.
Bahkan ilmu Kalam sempat dijadikan salah satu aliran resmi negara. Seperti Mu’tazilah pada ke Khalifahan Abbasiyah tepatnya pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim hingga al-watsiq memimpin. Asy’ariyah menjadi madzhab resmi negara pada masa kekhalifahan Bani Ayyubiah, Seljuk dan Mamluk. Kemudian pada masa Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Safawiyah memimpin, Syi’ah juga menjadi madzhab resmi negara.
Melenggang ke benua eropa, ada satu lagi aliran yang juga memiliki pengaruh yang cukup besar, pada kepemimpinan Dinasti Umawiayah di Andalusia. Yaitu Madzhab Litaralisme Ibnu Hazm. Salah satu aliran tersebut muncul dikarenakan ketidak setujuan ta’wil yang digunakan Mu’tazilah dan Asy’ariyah sehingga melahirkan polemik. Pendiri aliran tersebut adalah Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm.
Biografi dan Perjalanan Intelektual Ibnu Hazm
Ibnu Hazm nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Sufyan bin Yazid. Ia lahir di Andalsia, yang sekarang menjadi kota Cordoba, Spanyol. Pada tahun 384 Hijriah ia dilahirakan dan wafat pada tahun 456 Hijriah.
Pada masa kecilnya Ibnu Hazm mampu menghafalkan al-Qur’an. Saat masih muda ia sudah menekuni sastra al-qur’an dan hukum-hukumnya. Ibnu Hazm juga memiliki hafalan sya’ir yang cukup banyak. Keluarga Ibnu Hazm termasuk keluarga besar yang mengabdi kepada pemerintahan Dinasti Umayah di Andalusia. Ayahnya menjadi menteri pada masa pemerintahan Jendral al-Mansur bin Abi Amir (de-facto) atau pada masa kekhalifahan Hisyam al-Mu’ayyad (berkuasa menjadi Khalifah pada 366 H ).
Ibnu Hazm dan Proyek Kritis dalam Pemikirannya
Pada masa itu diskursus mengenai ke Ilmuan Islam sangatlah kental sekali. Terlebih dalam bidang Ilmu Kalam yang dijadikan legitimasi politik sang penguasa. Dalam diskursus tersebut timbul perbedaan mengenai, ketuhanan beserta perbedaan ta’wil al-qur’an khususnya Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang menimbulkan konflik.
Sebenarnya, literalisme Ibnu Hazm dari asmpek dekontruksi maupuan aspek rekontruksinya tidak dapat diketahui keistimewaanya dalam hal kandungan keterbaruanya (Reformisnya). Sisi istimewa dari literalisme Ibnu Hazm adalah perbedaanya, dalam memahami sebuah teks. Tentu pemahaman tersebut bertentangan dengan paradigma yang sudah tertanam pada aliran kalam pada saat itu, terutama Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Literlisme Ibnu Hazm memiliki dimensi yang berbeda dibandingkan literalisme lainnya seperti Abu Dawud al-Isfahani, yang cenderung lebih kaku, yang serta merta menolak kias, istihsany, al-maslahah, al mursalah dan sejenisnya. Madzhab tersebut menganggap hanya al-qur’an dan sunah sebagai satu-satunya sumber hukum utama, yang absolute.
Adapun Literalisme Ibnu Hazm adalah Literalisme yang didasarkan dimensi kritik. Bukan literalisme tekstualis yang mengekor pada madzhab tertentu. Fokus Ibnu Hazm bukan pendapat-pendapat atau lontaran-lontaranya, tetapi wacana kritik, terhadap aliran-aliran yang berkembang pada saat bersamaan.
Paradigma Ibnu Hazm dalam literalismenya mempunyai karakter tersendiri karena bertolak pada pendapat yang Integral tentang akidah dan syariah serta suatu yang diadopsi dari logika, ilmu kalam dan filsafat.
Paradigma Krtis Ibnu Hazm Terhadap Fenomena Taklid
Salah satu hal yang menonjol dalam sistem pemikiran Ibnu Hazm salah satunya adalah seruanya untuk berijtihad dan menggaungkan anti taqlid. Pengaruh situasi yang berkembang pada saat itu, terutama di bumi Andalusia dalam bidang hukum atau fikih, mengakibitkan Ibnu Hazm tegas dalam menentang taklid.
Secara historis, pada abad ke lima hijriah, berkembangnya ilmu-ilmu, fikih dan kalam telah membentuk suatu madzhab-madzhab. Adapun situasi tersebut melahirkan fanatisme dari diri pengikut aliran tersebut.
Ketika suasana taklid dan jumud tengah melanda masyarakat Islam, khususnya di Andalusia, Ibnu Hazm tempil dengan sikap yang tegas, menyuarakan anti taqlid. Kemudian ia menyerukan kebebasan berfikir terhadap umat Islam, dan mengumandangkan untuk berijtihad.
Kritik Ibnu Hazm Terhadap Madzhab Aliran Kalam
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Fashlu fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal Jilid 2, mengemukakan kritiknya terhadap ilmu kalam, terutama pada Madzhab Ay’ariyah dan Mu’tazilah yang bersinggungan langsung pada masanya.
Terlebih madzhab Asy’ariyah yang dianggap sebagai ahli kebenaran. Mereka menyebutnya sebagai ahlussunah karena mengangap pikiran mereka menganut para sahabat, para tabi’in, ahli hadist, para fuqoha yang mengikuti mereka dari generasi ke generasi.
Ibnu Hazm memberanikan diri menempuh jalan lain dan bersebarangan dengan pemahaman ulama salaf. Taqlid menjadi cirri khas yang melekat pada madzhab-madzhab kalam, seperi Asy’ariyah dan Mu’tazilah. namun Ibnu Hazm menggunakan paradigma atau kerangka berfikir Aristotelian dalam masalah yang berkaitan dengan wilayah akal dan lebih dekat pada pernyataan lahiriah atau nash-nash.
Dalam buku Muhammad Abied Al-Jabiri Al-Kasyfu’an Manahij al-Adillah fi Aqoid al-Millah yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Aksin Wijaya yang berjudul Kritik Wacana Teologi Islam halaman 83 mengatakan.
Literalisme Ibnu Hazm mengeritik mereka yang hanya mempelajari ilmu-ilmu Isnad dan mengumpulkan ilmu-ilmu asing dalam hadist. Kemudian mereka menafikan buku-buku yang menjelaskan masalah astronomi dan buku-buku yang ditulis Aristoteles tentang difinisi kalam (ilmu logika).
Kritik Terhadap Metode Qiyas Mengenai Dzat-Dzat Tuhan
Disamping menolak pendapat Madzhab Asy’ari tentang ketelitian ilmu kalam (Daqiq al-Kalam). ia juga menolak aspek-aspek penalaran mereka terharhadap aspek-aspek jalil al-kalam atau keagungan ilmu kalam.
Ibnu Hazm dalam kitabnya At-Taqrib li Haddi al-Mantiq wa al-Madkhal Ilaihi menuliskan, dalam konteks pembicaraan dzat-dzat tuhan menurut Ibnu Hazm tidak boleh menggunakan atau berpegang pada metode qiyas. Karena dzat-dzat dalam alam nyata, seperti dzat manusia adalah berbentuk jisim-jisim dan aksiden-aksiden.
Sementara itu Allah bukanlah jisim, bukan pula akasiden, melainkan penggerak yang tidak bergerak, pembentuk yang tidak terbentuk. Dengan pengertian tersebut, jelas adanya, bahwa ia menggunkan paradigma Aristoteles, yaitu tentang ilmu dan metode demonstratif.
Dalam Kitabnya Al-Fashlu halaman 135, jilid 2 Ibnu Hazm mengatakan. Berkenaan dengan masalah perbedaan sifat-sifat dan dzat Allah antara Ay’ariyah dan Mu’tazilah, menurutnya adalah perkara Bid’ah. Allah tidak pernah menyebutkan sifat bagi dirinya, Nabi Muhammad dan para sahabatnya juga tidak pernah mengatakan demikian.
Menurut Ibnu Hazm tidak ada gunanya melahirkan perdebatan seputar masalah sifat-sifat Allah yang digemuruhkan oleh Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang melahirkan perpecahan.
Manusia moderen kebanyakan pasti menghindari lansung dari sengatan sinar Matahari, kecuali dalam kadar panas tertentu. Hal tersebut kemudian melahirkan produk-produk yang berfungsi untuk melindungi manusia dari sinar matahari secara langsung, seperti sunscreen, topi, kacamata hitam, dll. effek yang pasti dirasakan saat terkena sinar matahari adalah rasa terbakar pada permukaan kuliat yang berakir pada penyesalan.
Lantas, apa yang terjadi dengan kulit manusia purba, selama ribuan tahun berhadapan langung dengan sinar maatahari ?
Evolusi Kulit Manusia Purba
Homo sapiens menghabiskan sebagian besar masa prasejarah tanpa perlindungan apapun, kebanyakan malah telanjang. Tubuh mereka di hadapkan langung dengan perubahan-perubahan cuaca dibumi, apalagi setiap tempat memiliki cuaca yang berbeda. tubuh manusia ternyata secara alami akan menyesuaikan dengan kondisi alam yang ada di sekitarnya.
Ketika musim salju sebagian akan mencari tempat berlindung seperti gua-gua atau bagi mereka yang telah berkembang secara kreativitas akan membuat tempat perlindungan dari rating kayu, kulit binatang, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan. Menjelang kemarau orang-orang akan mulai berkativitas lagi untuk mengumpulkan makanan yang berada di luar ruangan, dan sebagian besar kulit mereka yang telanjang adalah perlindugnan yang mereka miliki.
Penelitian menjelaskan, kulit manusa purba ternyata mengalami evolusi yang membuat mereka dapat bertahan di bawah sinar matahati. Lapisan permukaan kulit epidermis menjadi lebih tebal dengan lebih banyak lapisan sel.
Bagi kebanyakan orang, kulit menjadi lebih hitam secara bertahap saat sel-sel khusus beraksi untuk menghasilkan pigmen pelindung yang disebut eumelanin. Maka dari itu, jenis kulit hitam akan jauh lebih baik untuk survive di area panas dari pada yeng memiliki kulit cerah.
Molekul yang luar biasa ini menyerap cahaya yang paling terlihat, menyebabkannya terlihat sangat coklat tua, hampir hitam. Eumelanin juga menyerap radiasi ultraviolet yang merusak. Tenyata kadungan eumelanin pada manusa juga di pengaruhi faktor genetik mereka. Beberapa memiliki banyak dan mampu menghasilkan lebih banyak ketika kulit mereka terkena sinar matahari.
Penelitian tentang evolusi pigmentasi kulit manusia telah menunjukkan bahwa warna kulit orang-orang di zaman prasejarah disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, terutama pada tingkat sinar ultraviolet setempat.
Orang-orang yang hidup di bawah sinar UV yang kuat – seperti yang akan Anda temukan di dekat khatulistiwa – dari tahun ke tahun memiliki kulit berpigmen gelap dan sangat kecokelatan yang mampu membuat banyak eumelanin.
Orang yang hidup di bawah tingkat UV yang lebih lemah dan lebih musiman – seperti yang Anda temukan di sebagian besar Eropa utara dan Asia utara – memiliki kulit yang lebih terang yang hanya memiliki kemampuan terbatas untuk mengassilkan pigmen pelindung.
Penyebaran mereka terjadi sangat pelan karena dilakukan dengan jalan kaki sehingga Kulit mereka beradaptasi dengan perubahan yang perlahan. Pada kondisi banyaj mendapat sinar sinar matahari tubuh akan memproduksi lebih banyak eumelanin dan menjadi lebih gelap, sedangkan pigmen akan pigmen mulau mengurang di musim gugur dan musim dingin ketika matahari tidak begitu kuat.
Bahkan untuk orang dengan kulit berpigmen ringan, sengatan matahari yang menyakitkan akan sangat jarang terjadi karena tidak pernah ada kejutan tiba-tiba dari paparan sinar matahari yang kuat. Sebaliknya, saat Matahari menguat selama musim semi, lapisan atas kulit mereka akan menjadi lebih tebal secara bertahap selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan terpapar sinar matahari.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa kulit tidak akan rusak menurut standar saat ini: Dermatologis akan terkejut dengan penampilan kulit nenek moyang kita yang kasar dan keriput. Warna kulit, seperti tingkat Matahari itu sendiri, berubah seiring musim, dan kulit dengan cepat menunjukkan usianya. Ini masih berlaku bagi orang-orang yang hidup tradisional, kebanyakan di luar ruangan, tinggal di banyak bagian dunia.
Tidak ada kulit yang diawetkan dari ribuan tahun yang lalu untuk dipelajari para ilmuwan, tetapi kita dapat menyimpulkan dari efek paparan sinar matahari pada orang modern bahwa kerusakannya serupa. Paparan sinar matahari kronis dapat menyebabkan kanker kulit, tetapi jarang dari jenis – melanoma – yang akan menyebabkan kematian selama usia reproduksi.
Dampak hidup dalam ruangan
Sampai sekitar 10.000 tahun yang lalu – manusia mencari nafkah dengan mengumpulkan makanan, berburu, dan memancing. Hubungan manusia dengan Matahari dan sinar matahari banyak berubah setelah orang mulai menetap dan tinggal di pemukiman permanen. Pertanian dan penyimpanan makanan dikaitkan dengan pengembangan hunian tidak bergerak. Sekitar tahun 6000 SM. banyak orang di seluruh dunia menghabiskan lebih banyak waktu di pemukiman bertembok dan lebih banyak waktu di dalam ruangan.
Banyak dari mereka mulai melindungi diri dari matahari ketika siang menjelang. sekitar 3000 SM, seluruh industri perlindungan matahari tumbuh untuk menciptakan segala macam peralatan - payung, payung, topi, tenda, dan pakaian - yang akan melindungi orang dari ketidaknyamanan dan penggelapan kulit yang tak terhindarkan terkait dengan paparan sinar matahari yang lama. Sementara beberapa di antaranya awalnya diperuntukkan bagi kaum bangsawan - seperti payung dan payung Mesir kuno dan Cina - barang-barang mewah ini mulai dibuat dan digunakan lebih luas.
Konsekuensi penting dari praktik-praktik ini dalam masyarakat menciptakan kelas sosial, timbulnya padangan bahwa orang-orang yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam ruangan menganggap diri mereka istimewa, dan kulit mereka yang lebih terang mengumumkan status mereka. Sebuah "tan petani" tidak glamor: kulit yang gelap akibat sinar matahari adalah hukuman yang terkait dengan kerja keras di luar ruangan, bukan karena keinginan yang saat ini disebut eksotis. Hingga pada akhirnya perbedaan warna kulit berdampak pada sifat rasial bagi sebagian orang moderen.
Apakah kita sendirian di alam semesta ini? mungkin ini adalah petanyaan ummum yang sering kita dengar. Sementara umat manusia belum memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan ini, para ilmuwan terus-menerus mencari petunjuk yang mungkin menunjukkan keberadaan kehidupan di luar bumi.
Akhir-akhir ini, ada gelombang besar penelitian yang menyelidiki adanya planet ekstrasurya, meskipun motivasi di balik penelitian ini bervariasi di setiap lembaga. Beberapa penelitian diawali dari pembuktian adanya eksistensi kehidupan alien, sementara yang lain memiliki misi mencari hunian kedua selain Bumi.
Kabar baik bagi para penikmat sains, khususnya peminat informasi astronomi. Program Strategis Subaru — dimulai pada tahun 2007 untuk menghasilkan hasil ilmiah yang luar biasa menggunakan Teleskop Subaru Jepang — telah membantu menemukan Bumi bersekala super dan layak huni berada sekitar pada 37 tahun cahaya dari planet asal kita!
Ilmuwan berikan nama "Ross 508b", planet ini adalah dunia berbatu dengan massa sekitar empat kali massa Bumi kita.
Dan setahun di Ross 508b hanya berlangsung selama 11 hari Bumi! Ini, tentu saja, berarti orbitnya tidak terlalu besar — yang dapat dimengerti karena katai merah jauh lebih kecil daripada Matahari yang menjadi pusat tata surya planet tersebut.
Tetapi ukurannya yang lebih kecil berarti medan gravitasi mereka juga tidak seluas Matahari. Oleh karena itu, Ross 508b berputar mengelilinginya pada jarak hanya 5 juta kilometer. Mengingat Merkurius, sebagai perbandingan, planet ini berjarak sekitar 60 juta kilometer dari Pusat tata surya.
Nah, orbit Ross 508b berbentuk elips, artinya tidak selalau dekat dengan pusat tata surya. Namun, memang masih banyak perdebatan untuk perkiraan zona layak huni.
Planet seperti ini diperkiraakan bisa menahan air di permukaannya. Apakah air atau kehidupan benar-benar tumbuh subur atau tidak, masih ada perdebatan dan masih akan ada penelitan lanjutan yang lebih serius.
Hubungan antara katai merah dan planet layak huni
Tiga perempat dari bintang-bintang di galaksi Bima Sakti adalah katai merah yang lebih kecil dari Matahari dan bintang-bintang seperti itu berlimpah di lingkungan matahari. Karena itu, mereka adalah target penting dalam penelitihan para ilmuwan dalam penjelajahan luar angkasanya untuk menemukan planet layak huni selain bumi.
Namun, masih sangat sulit untuk memastikan palnet-palnet dalam tata surnya kita selain bumi menjadi zona layak huni.
Apa yang membuat penemuan ini lebih istimewa adalah bahwa itu adalah planet ekstrasurya pertama yang ditemukan oleh Program Strategis Subaru menggunakan spektrograf inframerah IRD pada Teleskop Subaru (IRD-SSP).
Tim di Pusat Astrobiologi di Jepang mengembangkan IRD khusus untuk mencari exoplanet yang mengorbit katai merah seperti Ross 508b. Itu bergantung pada teknik berburu planet yang mencari penyimpangan kecil dalam kecepatan bintang untuk menyimpulkan sebuah planet yang mengorbitnya.
Tidaklah berlebihan untuk berasumsi bahwa Teleskop Subaru dapat memberi kita kandidat yang lebih baik untuk planet layak huni di sekitar katai merah.
"Sudah 14 tahun sejak awal pengembangan IRD. Kami telah melanjutkan pengembangan dan penelitian kami dengan harapan menemukan planet yang persis seperti Ross 508b," kata Profesor Bun'ei Sato dari Institut Teknologi Tokyo, peneliti utama IRD- SSP.
Studi ini telah membuka pintu untuk pengamatan di masa depan untuk mengkonfirmasi kemungkinan kehidupan di sekitar bintang bermassa rendah. Temuan penelitian telah dirinci dalam Publikasi Masyarakat Astronomi Jepangi.